Manajemen Mutu Terpadu
I. Manajemen Mutu Terpadu
a. Pengertian Mutu dalam MMT
Pengertian mutu dalam proses pendidikan mengacu
pada proses pendidikan dan hasil pendidikan.[1] Maka mutu
dapat
diartikan sebagai keseleruhan gambaran dan karakteristik suatu produk berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan konsumen.
Dengan mengkombinasikan prinsip-prinsip tentang
mutu oleh para ahli dengan pengalaman praktek telah dicapai pengembangan suatu
model sederhana akan tetapi sangat efektif untuk mengimplementasikan manajemen
mutu terpadu di sekolah. Model tersebut terdiri dari komponen-komponen berikut:
1. Tujuan,
Perbaikan terus menerus, artinya mutu selalu diperbaiki dan disesuaikan
dengan perubahan yang menyangkut kebutuhan dan keinginan pelanggan.
2. Prinsip,
Fokus pada pelanggan, perbaikan
proses dan keterlibatan total.
3. Elemen,
Kepemimpinan, pendidikan dan pelatihan, struktur pendukung, komunikasi,
ganjaran dan pengakuan serta pengukuran.
Model di atas dibentuk berdasarkan tiga prinsip mutu terpadu yaitu:
1. Fokus pada pelanggan
Prinsip mutu, yaitu memenuhi kepuasan pelanggan (customer satisfaction).
Dalam manajemen mutu terpadu, pelanggan dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Pelanggan internal (di
dalam organisasi sekolah)
b. Pelanggan eksternal (di
luar organisasi sekolah)
2. Perbaikan proses
Konsep perbaikan terus menerus dibentuk berdasarkan pada premisi suatu seri
(urutan) langlah-langkah kegiatan yang berkaitan dengan menghasilkan output.
3. Keterlibatan total
Setiap orang harus berpartisifasi dalam transformasi mutu. Bukan hanya
tanggung jawab dari dewan sekolah atau pengawas.
Siapa
Pelanggan pendidikan?
“Pelanggan Utama” yaitu pelajar yang secara langsung menerima jasa
pendidikan. “Pelanggan Kedua” yaitu orang tua, kepala daerah, atau sponsor
pelajar yang memiliki kepentingan langsung secara individu maupun institusi.
“Pelanggan Ketiga” yaitu pihak yang memiliki peran penting namun tak langsung
seperti Pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Ketiga jenis pelanggan di
atas disebut “pelanggan eksternal”. Keragaman pelanggan tersebut membuat
seluruh institusi pendidikan harus lebih memfokuskan perhatian mereka pada
keinginan para pelanggan dan mengembangkan mekanisme untuk merespon mereka.[2]
b. TQM kenapa begitu penting dalam dunia pendidikan?
Manajemen mutu terpadu
atau disebut juga Total Quality Management (TQM) dapat didefinisikan dari tiga
kata yang dimilikinya yaitu: Total (keseluruhan), Quality (kualitas,
derajat/tingkat keunggulan ), Management (tindakan, seni, cara menghendel,
pengendalian, pengarahan). Manajemen Mutu Terpadu yang diterjemahkan dari Total
Quality Management (TQM) atau disebut pula Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah
suatu pendekatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu komponen terkait.[3]
MMT
(Manajem Mutu Terpadu) adalah salah satu cara dalam mengatur orang banyak, atau
suatu prosedur dalam hal ini setiap orang berusaha keras secara terus-menerus
memperbaiki jalan menuju suatu keberhasilan. Dapat pula MMT diartikan sebagai
suatu pendekatan manajemen yang memusatkan perhatian pada peningkatan mutu
pendidikan melalui peningkatan mutu semua komponen terkait. Di dalamnya
terkandung maksud menyelaraskan usaha-usaha orang banyak dalam organisasi
sedemikian rupa, sehingga mereka menghadapi tugasnya dengan penuh semangat dan
berpartisipasi secara penuh dalam perbaikan pelaksanaan pekerjaan.[4]
MMTP
(Manajem Mutu Terpadu Pendidikan) ialah suatu system manajemen yang menyangkut
mutu sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan
melibatkan seluruh anggota organisasi. Definisi MMTP mencakup dua komponen
yakni apa dan bagaimana menjalankan MMTP. Dalam MMTP, pelanggan adalah yang
berkuasa atau sebagai raja yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. MMT
dipopulerkan oleh peter dan Waterman pada tahun 1982. Konsep MMT : (1) MMTP
bukanlah suatau beban atau gangguan dan tidak dibuat oleh anda, (2) MMTP
bukanlah pekerjaan untuk seseorang atau agenda lainnya kecuali agendanya sama
dengan keingginan pelanggan, (3) MMTP bukanlah suatu yang hanya
dikerjakan oleh para manajer senior kemudian memberi petunjuk kepada
bawahannya.[5]
Total Quality Management memberikan jaminan
bagi pelanggan, bahwa organisasi mempunyai tanggung jawab tentang kualitas dan
mampu menyediakan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
mereka. Sebuah Organisasi yang memahami mengapa mereka memperkenalkan Total
QualityManagementdapat menerapkan suatu system yang fleksibel yang cocok bagi
mereka sendiri dan menyadari manfaat serta keefektifan yang dihasilkan oleh
Total Quality Management. Dalam hal ini
manajemen mutu terpadu (total quality manajemen) bisa ditempatkan sebagai
metodologi atau teknik manajemen untuk mencapai tujuan peningkatan mutu itu
sendiri, dan dalam tulisan ini akan dibahas khususnya di bidang pendidikan.
c.
MPMBS
Adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada
sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipasif dengan melibatkan
secara langsung semua warga sekolah untuk meningktakan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional. Orientasi MPMBS adalah pemenuhan kebutuhan
masyarakat dengan tekanan pada peningkatan mutu terpadu (TQM). Dengan MPMBS
ini, sekolah lebih mandiri dalam mengelola sekolahnya.
MPMBS adalah model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas atau
keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung
warga sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat
(orang tua, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[6]
Semenjak
diberlakukaknnya otonomi daerah tanggal 1 Januari 2001, depdiknas merubah
orientasi manajemen sekolah yang duluinya berbasis pusat menjadi Manjemen
berbasis sekolah (MBS).[7] MBS bertujuan untuk meningkatkan semua
kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efesiensi, inovasi, relevansi, dan
pemeratan serta akses pendidikan).[8] Sedangkan MPMBS (Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah) pada dasarnya adalah bagian dari MBS (Manajemen berbasis
sekolah). Fokus dari MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah)
terletak pada upaya peningkatan kualitas mutu sekolah yang diukur dari
inputnya, prosesnya dan outputnya.[9]
Tujuan
pokok memperlajari manajemen peningkatan mutu pendidikan adalah untuk
memperoleh cara, tehnik, metode yang sebaik-baiknya dilakukan, sehingga
sumber-sumber yang sangat terbatas seperti tenaga, dana, fasilitas, material
maupun sepiritual guna mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
MPMBS/M
memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan
menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkan
MPMB/M, maka sejumlah karakteristik MPMBS berikut perlu dimiliki. Berbicara
karakteristik MPMBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika
MPMBS merupakan wadah/kerangka, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh
karena itu, karakteristik MPMBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen
sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Dalam
menguraikan karakteristik MPMBS, pendekatan sistem yaitu input,
proses, output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh
pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem sehingga penguraian
karakteristik MPMBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan
kepada input,
proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut
dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat
output memiliki
tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan
tertinggi, sedangkan proses memiliki tingkat kepentingan
satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki
tingkat lebih rendah dari output.
d. MPMBS meliputi;
- Kapasitas Kelembagaaan Yang
Memadai
MPMBS
ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan.
Peningkatan efisiensi diperoleh melalui antara lain keleluasaan pengelolaan
sumber daya, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan
mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap
sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan
profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem
insentif/disinsentif, dan lain-lain. (Rumtini, 1999) menegaskan bahwa
peningkatan pemerataan dapat diperoleh melalui peningkatan partisipasi
masyarakat. Di samping itu, MPMBS juga bertujuan untuk mempersiapkan
kemandirian sekolah di era desentralisasi pendidikan. (Depdikbud; 2000)
menegaskan bahwa MPMBS mempunyai tujuan untuk memandirikan atau memberdayakan
sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya
untuk meningkatkan mutu sekolah.
- Budaya Yang Kondusif
Membangun
budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan
oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif.
Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster
tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan
ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
- Kemampuan Sekolah Dalam
Membuat Kebijakan, Rencana, Dan Program
sekolah
memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya
(menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu,
melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan
peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan
memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang
berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah
akan merupakan unit utama pengelolaan proses
pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas
Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung
dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah
yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tingkat
kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan
antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet,
inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab
terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen
dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen
yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya,
memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab,
pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki
kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
- System akuntabilitas
public,
Sekolah
yang menerapkan MPMBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah
dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan
bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar
rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa
tanggungjawab, makin besar pula tingkat dedikasinya. Sekolah Memiliki
Keterbukaan (Transparansi) Manajemen, Keterbukaan/transparansi dalam
pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MPMBS.
Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan,
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang
selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
Akuntabilitas
adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap
keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk
laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orangtua siswa,
dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai
apakah program MPMBS telah mencapai tujuan yang dikendaki atau tidak. Jika
berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang
bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan
kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil,
maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang
dianggap tidak memenuhi syarat.
Demikian
pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian
apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual
dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orangtua peserta
didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang
akan datang. Jika kurang berhasil, maka orangtua siswa dan masyarakat berhak
meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MPMBS
yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam
melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.
- Dukungan Pemerintah Pusat
Dan Daerah
pemerintah
pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka
monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block
grant yang diterima sekolah.
II.
Organisasi Modern
a. Mengapa sekolah sebagai organisasi perlu
mengadopsi manajemen perusahaan?
Kata
Manajemen berasal dari bahasa Inggris: management dengan kata kerja to
manage, diartikan secara umum sebagai mengarusi. Selanjutnya pengertian
manajemen berkambang lebih lengkap. Lauren A. Aply- seperti yang dikutip
Tanthowi “ the art getting thing done though people”. Stuner dalam
mengartikan menejemen sebagai proses proses perencanaan, pengorganisasian,
memimpin dan mengawasi usaha-usaha dari anggota organisai dari sumber-sumber
organisasi lainnya unruk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.[10]
Pengertian
manajemen menurut Wilson Bangun adalah suatu rangkaian aktivitas yang
dikerjakan oleh para anggota organisasi agar tujuan dapat tercapai dengan
rangkaian yang teratur dan tersusun baik.
George
R. Terry, mengatakan bahwa manajemen merupakan proses
yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan : perencanaan,
pengorganisasian, menggerkan dan pengawasan yang dialkukan untuk
menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui
pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lain.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa manajemen adalah seni
dalam mengatur sistem baik orang dan perangkat lain agar dapat berjalan dan
bekerja sesuai dengan ketentuan dan tujuan entitas yang terdiri dari berbagai
aktivitas sebagaimana disebutkan oleh George Terry.
KH. Toto tasmara dalam buku Spiritual Centered
Leadership memberikan gambaran tentang perbedaan antara manajer dan leader.
“Manajer bagaikan seorang yang mengendarai kendaraan. Dia harus terampil dan
meyakinkan bahwa kendaraannya berada dalam kondisi yang baik untuk menempuh
perjalanan. Sedangkan kepemimpinan berhubungan dengan kemampuan menentukan arah
dan memastikan bahwa kendaraan berada dalam jalan yang sesuai dengan peta yang
ditetapkan.Manajer bekerja sesuai dengan sistem, sedangkan kepemimpinan
memperbaiki sistem serta membuat arah, tujuan, dan segala hal yang berkaitan
dengan esensi dan substansi. Manajer berbicara tentang apa yang harus
dikerjakan, kepemimpinan berbicara tentang mengapa dan apa akibatnya bila hal
tersebut harus dikerjakan.”[11]
Para peneliti biasanya mendefenisikan “kepemimpinan”
menurut pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan
yang paling baik bagi para pakar yang bersangkutan. Bahkan Stogdil membuat
kesimpulan, bahwa: There are almost as many definitions of leadership as
there are persons who have attempted to define the concept.[12]
Kepemimpinan
diterjemahkan ke dalam istilah sifat-sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap
orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerja sama antarperan, kedudukan dari
satu jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi
pengaruh.[13]
Sehingga
menurut penulis berdasarkan teori diatas pentingnya manajemen sekolah untuk
menerapkan manajemen seperti perusahaan karena target sekolah dan perusahaan
dalam manajemen adalah sama, yaitu memberikan kepuasan pada pelanggannya. Juga
didalam manajemennya terdapat seni dalam mengatur sistem baik orang dan perangkat lain agar dapat
berjalan dan bekerja sesuai dengan ketentuan dan tujuan entitas.
b. Pengertian MBS?
Nurkolis (2006: 11) mengemukakan bahwa Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) adalah model pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan
yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri secara
langsung.
Menurut Mulyasa (2002), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan
kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan
pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta
menjalin kerja sama yang erat antara sekolah masyarakat dan pemerintah.
Menurut Sudarwan Danim (2005) MBS dapat didefinisikan
sebagai suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan
kaidah-kaidah, otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan sustainabilitas untuk
mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menurut penulis sebagai
proses kerja sama komunitas sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih
besar pada sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan
pendidikan supaya lebih baik dan lebih memadai agar dapat mengakomodasi
keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara
sekolah, masyarakat dan pemerintah.
-Permasalahan
MBS dalam pelaksanaannya?
1.
Resistensi terhadap perubahan;
Setidaknya
ada dua jenis resistensi terhadap penerapan MBS yaitu resistensi pada
sumberdaya manusia dan resistensi pada organisasi. Resistensi pada sumberdaya
manusia disebabkan oleh ketidakmampuan, ketakutan terhadap perubahan, kurang
bisa melihat keuntungan, kekurangpercayaan, dan merasa terganggu terhadap
kemapanan yang telah lama melekat padanya. Sedang resistensi pada organisasi
setidaknya meliputi struktur organisasi sekolah termasuk pembagian kerja yang
belum pas dalam sekolah dan antara sekolah dengan dinas pendidikan dan komite
sekolah. Selain itu, miskin komunikasi antara pihak-pihak terkait dengan MBS,
ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai oleh sekolah dan upaya-upaya untuk
mencapainya juga menjadi faktor yang menyebabkan resistensi.Pemecahan: Perlu dilakukan restrukturisasi organisasi sekolah
agar roles, relationships, rules and regularities and accountabity sesuai
dengan keyakinan, nilai, dan norma-norma baru yang terkandung dalam MBS. Selain
itu, sekolah perlu menumbuhkan dan mengembangkan kultur baru yang dituntut oleh
MBS melalui penyadaran (diskusi, pembiasaan, contoh, dsb.) bahwa kehidupan
adalah perubahan sehingga kemapanan yang selama ini mereka miliki perlu dicairkan.
2. Minimnya wawasan tentang konsep sekolah sebagai system;
Permasalahan utama yang dihadapi oleh sekolah
dalam melaksanakan MBS adalah miskinnya wawasan warga sekolah dan unsur-unsur
terkait tentang konsep sekolah sebagai sistem. Terlihat cara berpikir mereka
sering parsial (tidak utuh/holistic), meloncat-loncat (tidak runtut), dan
kurang memahami bahwa upaya-upaya yang ditempuh dalam mengembangkan sekolah
haruslah dilakukan secara kolektif dan bukannya isolatif. Pemecahan: Perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya berpikir
sistem, cara-cara berpikir sistem, dan penerapannya untuk pengelolaan dan
pengembangan sekolah sehingga tertanam cara-cara berpikir dan perbuatan yang
bersifat holistik/sistemik. Sosialisasi dapat dilakukan melalui penataran dan
pembimbingan.
3. Kesulitan dalam menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS)
Sampai saat ini, banyak sekolah yang RPS nya kurang memadai yaitu kurang sesuai dengan kriteria RPS yang baik. Padahal RPS sangat penting dilakukan untuk memberi arah dan bimbingan para penyelenggara sekolah dalam rangka menuju perubahan/tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan sekolah. Tanpa perencanaan sekolah yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan sekolah.RPS merupakan dynamic blue print sekolah yang memuat gambaran kegiatan sekolah di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Perlu digarisbahwahi bahwa dalam situasi yang turbulen seperti saat ini, RPS harus bersifat luwes/kenyal dan dinamis (planning dynamics), tidak kaku. Selain itu, RPS harus menerapkan prinsip-prinsip RPS yang baik yaitu: memperbaiki output sekolah, demand driven (prioritas kebutuhan sekolah), partisipasi, keterwakilan, data driven, realistis sesuai dengan hasil analisis SWOT, mendasarkan pada hasil review dan evaluasi, keterpaduan, holistic/tersistem, dan transparansi. Pemecahan:Perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam menyusun RPS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan RPS dan penataran-panataran penyusunan RPS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.
Sampai saat ini, banyak sekolah yang RPS nya kurang memadai yaitu kurang sesuai dengan kriteria RPS yang baik. Padahal RPS sangat penting dilakukan untuk memberi arah dan bimbingan para penyelenggara sekolah dalam rangka menuju perubahan/tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan sekolah. Tanpa perencanaan sekolah yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan sekolah.RPS merupakan dynamic blue print sekolah yang memuat gambaran kegiatan sekolah di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Perlu digarisbahwahi bahwa dalam situasi yang turbulen seperti saat ini, RPS harus bersifat luwes/kenyal dan dinamis (planning dynamics), tidak kaku. Selain itu, RPS harus menerapkan prinsip-prinsip RPS yang baik yaitu: memperbaiki output sekolah, demand driven (prioritas kebutuhan sekolah), partisipasi, keterwakilan, data driven, realistis sesuai dengan hasil analisis SWOT, mendasarkan pada hasil review dan evaluasi, keterpaduan, holistic/tersistem, dan transparansi. Pemecahan:Perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam menyusun RPS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan RPS dan penataran-panataran penyusunan RPS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.
4. Miskin wawasan tentang konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)
Secara agregatif, masih banyak sekolah yang belum memahami esensi konsep MBS. Masih banyak juga sekolah yang belum melaksanakan MBS secara konsisten menurut aspek dan fungsi manajemen secara utuh. Aspek-aspek manajemen sekolah yang dimaksud meliputi kurikulum, tenaga/sumberdaya manusia, siswa, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Fungsi-fungsi manajemen sekolah yang dimaksud meliputi: pengambilan keputusan, pemformulasian tujuan dan kebijakan, perencanaan, pengorganisasian, pen-staf-an, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, pensupervisian, dan pengontrolan. Pemecahan:Seperti butir 3, perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam memahami dan melaksanakan MBS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan MBS dan penataran-panataran MBS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya juga sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.
Secara agregatif, masih banyak sekolah yang belum memahami esensi konsep MBS. Masih banyak juga sekolah yang belum melaksanakan MBS secara konsisten menurut aspek dan fungsi manajemen secara utuh. Aspek-aspek manajemen sekolah yang dimaksud meliputi kurikulum, tenaga/sumberdaya manusia, siswa, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Fungsi-fungsi manajemen sekolah yang dimaksud meliputi: pengambilan keputusan, pemformulasian tujuan dan kebijakan, perencanaan, pengorganisasian, pen-staf-an, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, pensupervisian, dan pengontrolan. Pemecahan:Seperti butir 3, perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam memahami dan melaksanakan MBS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan MBS dan penataran-panataran MBS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya juga sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.
5. Kesulitan menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik
Pengamatan selama ini menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik secara konsisten, yaitu partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum, cepat tanggap, demokrasi, tanggungjawab, efisiensi dan efektivitas, profesionalisme, berwawasan ke depan (futuristic), dan pengawasan serta kontrol yang efektif.
Pengamatan selama ini menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik secara konsisten, yaitu partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum, cepat tanggap, demokrasi, tanggungjawab, efisiensi dan efektivitas, profesionalisme, berwawasan ke depan (futuristic), dan pengawasan serta kontrol yang efektif.
Pemecahan: Perlu diterbitkan panduan yang spesifik tentang
prinsip-prinsip MBS yang baik dan dilakukan focus group discussion (FGD) lintas
unsur-unsur dalam sekolah dan dengan lintas organisasi yaitu dengan Komite
Sekolah, Dinas Pendidikan, dan Dewan Pendidikan. Penyusunan RPS yang dilakukan
secara partisipatif, laporan program dan keuangan yang dilakukan secara
transparan dan akuntabel adalah merupakan upaya untuk merealisasikan
prinsip-prinsip MBS yangbaik.
6. Kesiapan Sekolah dalam melaksanakan KBK Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah
dikenalkan di sejumlah sekolah. Namun setelah dicermati, tingkat kesiapan mereka belum memadai
seperti yang dituntut oleh KBK. KBK adalah kurikulum yang disusun berdasarkan
standar kompetensi. KBK, adalah salah satu komponen pendidikan berbasis
kompetensi (PBK). PBK sebagai sistem tersusun dari rangkaian komponen-komponen
yang saling terkait secara hirarkis sebagai berikut: (a) standar kompetensi,
(b) kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi dan disebut
kurikulum berbasis kompetensi/KBK, (c) penyelenggaraan proses belajar mengajar
yang mengacu pada KBK, (d) evaluasi berdasarkan standar kompetensi, dan (e) sertifikasi
untuk menyatakan penguasaan kompetensi pada tingkat tertentu.
Pemecahan:Perlu penyusunan panduan pelaksanaan KBK yang lebih akurat, perlu sosialisasi KBK lebih intensif melalui lokakarya bagi seluruh unsur yang terkait dengan implementasi KBK, dan perlu dukungan sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (dana, sarana prasarana) karena KBK menuntut pembelajaran yang lebih konkret bukan sekadar abstrak, realitas dan bukan artificial, actual dan bukan sekadar tekstual, nyata dan tidak sekadar maya, dan ini semua hanya bisa dilakukan melalui pendekatan pembelajaran learning by doing, mastery learning, and contextual learning, yang jelas memerlukan sarana dan prasarana.
Pemecahan:Perlu penyusunan panduan pelaksanaan KBK yang lebih akurat, perlu sosialisasi KBK lebih intensif melalui lokakarya bagi seluruh unsur yang terkait dengan implementasi KBK, dan perlu dukungan sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (dana, sarana prasarana) karena KBK menuntut pembelajaran yang lebih konkret bukan sekadar abstrak, realitas dan bukan artificial, actual dan bukan sekadar tekstual, nyata dan tidak sekadar maya, dan ini semua hanya bisa dilakukan melalui pendekatan pembelajaran learning by doing, mastery learning, and contextual learning, yang jelas memerlukan sarana dan prasarana.
7. Ketidak jelasan dalam manajemen tenaga kependidikan; Masalah
manajemen tenaga kependidikan di sekolah sebenarnya sudah secara konseptual
telah jelas karena P3D (personel, peralatan, pendanaan, dan dokumen) sudah
diserahkan ke daerah. Yang belum jelas adalah implementasinya. Sampai saat ini,
perencanaan, rekrutmen, penempatan, pemanfaatan, pengembangan, pemutasian,
hubungan kerja, penilaian kinerja, pendataan, dan hal-hal lain yang terkait
dengan manajemen tenaga kependidikan masih kurang jelas. Tidak hanya itu,
rekrutmen kepala sekolah tidak lagi sepenuhnya menggunakan persyaratan-persyaratan
sebagaimana dituntut oleh Kepmendikbud nomor 0296/U/1996 (diperbarui menjadi
Kepmendiknas nomor 17/U/2003). Akibatnya, sulit memperoleh the right person, in
the right place. Padahal, MBS menuntut kepala sekolah yang tangguh, yaitu
kepala sekolah yang kuat manajemen dan kepemimpinannya. Pemecahan:Perlu dibahas
secara intensif tentang manajemen tenaga kependidikan melalui
pertemuan-pertemuan lintas organisasi yaitu Sekolah, Dinas Pendidikan dan Pemda
Kabupaten/Kota/Propinsi, dan Depdiknas untuk mencari solusi kejelasan
implementasi manajemen tenaga kependidikan.
8. Belum optimalnya partisipasi/dukungan stakeholders;
Salah satu inti MBS adalah partisipasi, baik
dari warga dalam sekolah maupun warga masyarakat yang berpengaruh maupun yang
dipengaruhi oleh sekolah (stakeholders). Wadah partisipasi stakeholders sudah ada yaitu Komite Sekolah,
namun dukungan riil dari mereka, baik intelektual, moral, financial, dan
material, masih beragam.
Pemecahan:Perlu dilakukan advokasi melalui pertemuan-pertemuan,
perlu meningkatkan partisipasi stakeholders dalam berbagai kegiatan sekolah,
perlu publikasi melalui media tertulis/elektronik, perlu komunikasi secara
intensif melalui berbagai media, perlu digalakkan transparansi, dan perlu
peningkatan relasisasi dengan stakeholders melalui berbagai events.
9. Ketidakpastian dalam pembiayaan sekolah;
Dua hal yang mengganjal dalam pembiayaan pendidikan di sekolah
yaitu: (1) siapa yang membayar, berapa banyak, untuk apa dan (2) formula sistem
pembiayaan per siswa dan per jadwal mata pelajaran. Sampai saat ini, butir (1)
belum jelas sehingga akhir-akhir ini banyak protes dari masyarakat tentang
mahalnya biaya pendidikan. Padahal, sebenarnya biaya tersebut belum cukup untuk
membiayai sekolah secara wajar.
Pemecahan:Perlu segera dicari formula system pembiayaan per siswa
dan per jadwal mata pelajaran malalui pengkajian/penelitian yang dilakukan
secara intensif. Best practices tentang pembiayaan pendidikan dari
negara-negara lain, khususnya menyangkut formula funded system, perlu dikaji
secara eklektif inkorporatif.
10. Kekurang jelasan tata pemerintahan pendidikan;
Telah terbukti bahwa masih banyak tumpang tindih pembagian kerja
(division of labor) antara unsur-unsur yang terkait dengan sekolah. Pembagian
kerja antara Sekolah dan Komite Sekolah, pembagian kerja antara Komite Sekolah
dan Dewan Pendidikan, dan antara Dewan Pendidikan dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), masih memerlukan kejelasan. Jika demikian, tata pemerintahan
dalam pendidikan (governance in education) akan kurang mendukung terhadap
implementasi MBS.
Pemecahan:Perlu dibahas secara lintas organisasi mengenai fungsi,
struktur organisasi, pembagian kerja (division of labor) dari masing-masing
pihak yang terkait dengan tata pemerintahan pendidikan di sekolah melalui
lokakarya dan pengkajian tentang praktek-praktek terbaik tata pemerintahan
pendidikan di sekolah-sekolah lain.
III. KEPEMIMPINAN
Kepemipinan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi
orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Menurut Tead;
Terry; Hoyt Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau
bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing
orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.[14]
Kepemimpinan adalah terjemahan dari bahasa Inggris leadership
yang berasal dari kata leader yang berarti pemimpin. Kepemimpinan adalah suatu proses dimana seseorang mempengaruhi
orang lain untuk meraih suatu tujuan dan mengarahkan sejumlah sumber daya untuk
mencapai visi dan misi tertentu (Sriartha & Sudiana, 2009). Kepemimpinan
adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada
hubungannya dengan pekerjaan terhadap para anggota kelompok. Definisi ini
mengandung tiga implikasi penting, yaitu (1) kepemimpinan itu melibatkan orang
lain, baik itu bawahan maupun pengikut, (2) kepemimpinan melibatkan
pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang,
(3) adanya kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk kekuasaan yang berbeda-beda
untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya dengan berbagai cara (dalam
Nurkolis, 2002: 153).
Kepemimpinan merupakan suatu hal
yang sangat penting dalam manajemen berbasis sekolah. Kepemimpinan berkaitan dengan
masalah kepala sekolah dalam meningkatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan
secara efektif dengan para guru dalam situasi yang kondusif. Prilaku kepala
sekolah harus dapat mendorong kinerja para guru dengan menunjukkan rasa
bersahabat, dekat dan penuh pertimbangan terhadap guru baik secara individu
maupun sebagai kelompok (Mulyasa, 2003: 107).
Kepala sekolah sebagai pimpinan di lingkungan sekolah tidak
hanya wajib melaksanakan tugas administratif. Namun juga menyangkut tugas
bagaimana mengatur seluruh program sekolah. Dia harus mampu memimpin dan
mengarahkan aspek-aspek baik administratif maupun proses kependidikan di
sekolahnya. Sehingga kepemimpinan di sekolah harus digerakkan sedemikian rupa
sehingga pengaruh prilakunya sebagai orang yang memegang kunci dalam perbaikan
administratif dan pengajaran harus mampu menggerakkan kegiatan-kegiatan dalam
rangka inovasi di bidang pengajaran.
Kepemimpinan
kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah dapat
mewujudkan misi dan visi, tujuan dan sasaran sekolah melalui program yang
dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Maka dari itu kepala sekolah
dituntut untuk memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar
mampu mengambil keputusan dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah.
Pidarta (1988, dalam Mulyasa, 2002:126) mengemukakan tiga macam
keterampilan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah untuk menyukseskan
kepemimpinannya. Ketiga keterampilan tersebut adalah keterampilan konseptual,
yaitu keterampilan untuk memahami dan mengoperasikan organisasi; keterampilan
munusiawi yaitu keterampilan untuk bekerjasama, memotivasi dan memimpin; serta
keterampilan teknik ialah keterampilan dalam menggunakan pengetahuan, metode,
teknik, serta pelengkapan untuk menyelesaikan tugas tertentu.[15]
Lebih lanjut dikemukakan bahwa
untuk memiliki kemampuan, terutama keterampilan konsep, para kepala sekolah
diharapkan melalui kegiatan-kegiaatan berikut: (1) senantiasa belajar dari
pekerjaan sehari-hari terutama dari cara kerja para guru dan pegawai sekolah
lainnya; (2) melakukan observasi kegiatan manajemen secara terencana; (3)
membaca berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang sedang
dilaksanakan; (4) memanfaatkan hasil penelitian orang lain; (5) berpikir untuk
masa yang akan datang; dan (6) merumuskan ide-ide yang dapat diujicobakan.
Selain itu, kepala sekolah harus dapat menerapkan gaya kepemimpinan
yang efekfif sesuai dengan situasi dan kebutuhan serta motivasi para guru dan
pekerja lain.
Sejarah pertumbuhan peradaban manusia banyak menunjukkan
bukti bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dan keberlangsungan
organisasi adalah kuat tidaknya kepemimpinan. Kegagalan dan keberhasilan
organisasi banyak ditentukan oleh pemimpin karena pemimpin merupakan pengendali
dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh organisasi menuju ke suatu tujuan
yang akan dicapai. Hal ini sejalan dengan pandangan Siagian, 1994 (dalam
Suditha, 2011) bahwa arah yang hendak ditempuh oleh organisasi menuju tujuan
haruslah sedemikian rupa sehingga mengoptimalkan pemanfaatan dari segala sarana
dan prasarana yang tersedia. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan
taktik yang disusun serta dijalankan dijalankan oleh organisasi bersangkutan.
Untuk mendapatkan kinerja yang baik dan hasil kerja yang
meningkat di suatu organisasi, maka harus memenuhi persyaratan atau memiliki:
(1) keahlian dan kemampuan dasar, yaitu sekelompok kemampuan, yang meliputi
kemampuan komunikasi, kemampuan teknik, kemampuan konseptual dan lain
sebagainya, (2) kualitas pribadi yang meliputi mental, fisik, emosi, watak
sosial, sikap, komitmen, integritas, kesadaran, serta perilaku yang baik, (3)
kemampuan administrasi meliputi kemampuan menganalisis persoalan, memberi
pertimbangan, pendapat, keputusan, mengatur sumber daya, dan berbagai macam
kegiatan, lapang dada, sabar, berpartisipasi aktif dalam berbagai aktivitas,
dan motivasi yang tinggi.
Dalam rangka melaksanakan MBS, kepala sekolah sebagai
pemimpin harus memiliki berbagai kemampuan, antara lain yang berkaitan dengan
pembinaan disiplin pegawai, pemberian penghargaan, dan pembangkit motivasi.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Arcaro, Jerome S. Pendidikan Berbasis Mutu:
Prinsip-Prinsip Perumusan Dan
Tata Langkah Penerapan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Edward Sallies,
“Total Quality Management In Education”, Yogjakarta: IRCiSoD
2006
Hedwig, Rinda. Sistem Penjaminan Mutu Di Perguruan
Tinggi Monitoring Dan
Evaluasi Internal.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007
Nana Syaodih
Sukmadinata, “Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah”
Bandung:
PT Refika Aditama, 2006
Nur Nasution,
“Manajemen Mutu Terpadu”,Jakarta: Ghalia Indonesia 2015
Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr. Pengendalian
Mutu Pendidikan Sekolah
Menengah. Bandung: PT
Refika Aditama, 2006
Sallies, Edward. Total Quality Management In
Education. Jogjakarta: IRCiSoD,
2006.
Sudiyono,”Manajemen
Pendidikan Tinggi”, Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Usman
Husaini,”Manajemen Teori Praktik & Riset Pendidikan”,Yogjakarta:Bumi
Aksara,
2008
Widjaja
Tunggal Amin,”Manajemen Mutu Terpadu”,Jakarta:Rineka Cipta, 1998
Arief Nurakhman, “Definisi, Unsur, Prinsip, Manfaat
Program”, diaksesdari
http://sisimili.blogspot.com/2013/01/definisi-unsur-prinsip-manfaat program.html diakses pada
tanggal 11 Mei 2016 pukul 11.30 Wib
[1] Sobri sutikno, “Pengelolaan pendidikan Tintauan Umum Dan Konsep Islami”.
(Bandung: prospect, 2010) hal. 144
[2] https://kuregis.wordpress.com/2013/04/17/siapa-pelanggan-pendidikan/ diakses pada
tanggal 10 juni 2016 jam 11 wib
[3] Arief
Nurakhman, “Definisi, Unsur, Prinsip, Manfaat Program”, diakses dari http://sisimili.blogspot.com/2013/01/definisi-unsur-prinsip-manfaat-program.html diakses pada
tanggal 11 Mei 2016 pukul 11.30 Wib
[4] Nur Nasution,
“Manajemen Mutu Terpadu”,(Jakarta: Ghalia Indonesia 2015) hal. 21
[5] Usman
Husaini,”Manajemen Teori Praktik & Riset Pendidikan”,(Yogjakarta:Bumi
Aksara, 2008) hal. 530
[6] Ade Irawan
dkk, Mendagangkan Sekolah Indonesia (Jakarta: Corruption
Watch, 2004), 30
[7] Husaini
Usman, Manajemen Teori, Praktik, Dan Riset Pendidikan (Jakarta: Bumi
Aksara,2006), Hal. 572
[8] ibid
[9] ibid
[10] M. Ismail
Yusanto, Pengantar Manajemen Syariat, Khairul Bayan, Jakarta Selatan, cet. 2,
hal.14
[11] KH. Toto
Tasmara, Spiritual, hal. 171-172
[12] gary A. Yukl, Leadership
In Organizations, 1981, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N. J. 07632
hlm. 2-5.
[13] Wahjosumidjo, Kepemimpinan
Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta: Rajawali
Press, 2008), hal. 17.
[14] Dr. E.
Mulyasa, M.Pd, menjadi kepala sekolah profesional, PT. Remaja Rosdakarya, cet. VI, Bandung, hal.
107
[15]
http://ridhofkip.blogspot.co.id/2013/04/kepemimpinan-dalam-manajemen-berbasis.html
Comments
Post a Comment