Manajemen Mutu Terpadu

I. Manajemen Mutu Terpadu
a. Pengertian Mutu dalam MMT
Pengertian mutu dalam proses pendidikan mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan.[1] Maka mutu dapat diartikan sebagai keseleruhan gambaran dan karakteristik suatu produk berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan konsumen.
Dengan mengkombinasikan prinsip-prinsip tentang mutu oleh para ahli dengan pengalaman praktek telah dicapai pengembangan suatu model sederhana akan tetapi sangat efektif untuk mengimplementasikan manajemen mutu terpadu di sekolah. Model tersebut terdiri dari komponen-komponen berikut:
1.      Tujuan,
Perbaikan terus menerus, artinya mutu selalu diperbaiki dan disesuaikan dengan perubahan yang menyangkut kebutuhan dan keinginan pelanggan.
2.      Prinsip,
 Fokus pada pelanggan, perbaikan proses dan keterlibatan total.
3.      Elemen,
Kepemimpinan, pendidikan dan pelatihan, struktur pendukung, komunikasi, ganjaran dan pengakuan serta pengukuran.
Model di atas dibentuk berdasarkan tiga prinsip mutu terpadu yaitu:
1.      Fokus pada pelanggan
Prinsip mutu, yaitu memenuhi kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Dalam manajemen mutu terpadu, pelanggan dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.       Pelanggan internal (di dalam organisasi sekolah)
b.      Pelanggan eksternal (di luar organisasi sekolah)

2.      Perbaikan proses
Konsep perbaikan terus menerus dibentuk berdasarkan pada premisi suatu seri (urutan) langlah-langkah kegiatan yang berkaitan dengan menghasilkan output.
3.      Keterlibatan total
Setiap orang harus berpartisifasi dalam transformasi mutu. Bukan hanya tanggung jawab dari dewan sekolah atau pengawas.  
Siapa Pelanggan pendidikan?
“Pelanggan Utama” yaitu pelajar yang secara langsung menerima jasa pendidikan. “Pelanggan Kedua” yaitu orang tua, kepala daerah, atau sponsor pelajar yang memiliki kepentingan langsung secara individu maupun institusi. “Pelanggan Ketiga” yaitu pihak yang memiliki peran penting namun tak langsung seperti Pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Ketiga jenis pelanggan di atas disebut “pelanggan eksternal”. Keragaman pelanggan tersebut membuat seluruh institusi pendidikan harus lebih memfokuskan perhatian mereka pada keinginan para pelanggan dan mengembangkan mekanisme untuk merespon mereka.[2]
b. TQM kenapa begitu penting dalam dunia pendidikan?
Manajemen mutu terpadu atau disebut juga Total Quality Management (TQM) dapat didefinisikan dari tiga kata yang dimilikinya yaitu: Total (keseluruhan), Quality (kualitas, derajat/tingkat keunggulan ), Management (tindakan, seni, cara menghendel, pengendalian, pengarahan). Manajemen Mutu Terpadu yang diterjemahkan dari Total Quality Management (TQM) atau disebut pula Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu komponen terkait.[3]
MMT (Manajem Mutu Terpadu) adalah salah satu cara dalam mengatur orang banyak, atau suatu prosedur dalam hal ini setiap orang berusaha keras secara terus-menerus memperbaiki jalan menuju suatu keberhasilan. Dapat pula MMT diartikan sebagai suatu pendekatan manajemen yang memusatkan perhatian pada peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu semua komponen terkait. Di dalamnya terkandung maksud menyelaraskan usaha-usaha orang banyak dalam organisasi sedemikian rupa, sehingga mereka menghadapi tugasnya dengan penuh semangat dan berpartisipasi secara penuh dalam perbaikan pelaksanaan pekerjaan.[4]
MMTP (Manajem Mutu Terpadu Pendidikan) ialah suatu system manajemen yang menyangkut mutu sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi. Definisi MMTP mencakup dua komponen yakni apa dan bagaimana menjalankan MMTP. Dalam MMTP, pelanggan adalah yang berkuasa atau sebagai raja yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. MMT dipopulerkan oleh peter dan Waterman pada tahun 1982. Konsep MMT : (1) MMTP bukanlah suatau beban atau gangguan dan tidak dibuat oleh anda, (2) MMTP bukanlah pekerjaan untuk seseorang atau agenda lainnya kecuali agendanya sama dengan keingginan pelanggan, (3) MMTP  bukanlah suatu yang hanya dikerjakan oleh para manajer senior kemudian memberi petunjuk kepada bawahannya.[5]
Total Quality Management memberikan jaminan bagi pelanggan, bahwa organisasi mempunyai tanggung jawab tentang kualitas dan mampu menyediakan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Sebuah Organisasi yang memahami mengapa mereka memperkenalkan Total QualityManagementdapat menerapkan suatu system yang fleksibel yang cocok bagi mereka sendiri dan menyadari manfaat serta keefektifan yang dihasilkan oleh Total Quality Management. Dalam hal ini manajemen mutu terpadu (total quality manajemen) bisa ditempatkan sebagai metodologi atau teknik manajemen untuk mencapai tujuan peningkatan mutu itu sendiri, dan dalam tulisan ini akan dibahas khususnya di bidang pendidikan.
c.       MPMBS
Adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipasif dengan melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningktakan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Orientasi MPMBS adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan tekanan pada peningkatan mutu terpadu (TQM). Dengan MPMBS ini, sekolah lebih mandiri dalam mengelola sekolahnya.
MPMBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas atau keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.[6]
Semenjak diberlakukaknnya otonomi daerah tanggal 1 Januari 2001, depdiknas merubah orientasi manajemen sekolah yang duluinya berbasis pusat menjadi Manjemen berbasis sekolah (MBS).[7] MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efesiensi, inovasi, relevansi, dan pemeratan serta akses pendidikan).[8] Sedangkan MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) pada dasarnya adalah bagian dari MBS (Manajemen berbasis sekolah). Fokus dari MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) terletak pada upaya peningkatan kualitas mutu sekolah yang diukur dari inputnya, prosesnya dan outputnya.[9]
Tujuan pokok memperlajari manajemen peningkatan mutu pendidikan adalah untuk memperoleh cara, tehnik, metode yang sebaik-baiknya dilakukan, sehingga sumber-sumber yang sangat terbatas seperti tenaga, dana, fasilitas, material maupun sepiritual guna mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
MPMBS/M memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkan MPMB/M, maka sejumlah karakteristik MPMBS berikut perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MPMBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MPMBS merupakan wadah/kerangka, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MPMBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Dalam menguraikan karakteristik MPMBS, pendekatan sistem yaitu  input, proses, output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MPMBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan kepada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedangkan proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat lebih rendah dari output.


d. MPMBS meliputi;
- Kapasitas Kelembagaaan Yang Memadai
MPMBS ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui antara lain keleluasaan pengelolaan sumber daya, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif/disinsentif, dan lain-lain. (Rumtini, 1999) menegaskan bahwa peningkatan pemerataan dapat diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Di samping itu, MPMBS juga bertujuan untuk mempersiapkan kemandirian sekolah di era desentralisasi pendidikan. (Depdikbud; 2000) menegaskan bahwa MPMBS mempunyai tujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya untuk meningkatkan mutu sekolah.
- Budaya Yang Kondusif
Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
- Kemampuan Sekolah Dalam Membuat Kebijakan, Rencana, Dan Program
sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
- System akuntabilitas public,
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula tingkat dedikasinya. Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen, Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MPMBS. Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orangtua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MPMBS telah mencapai tujuan yang dikendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orangtua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orangtua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MPMBS yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.
- Dukungan Pemerintah Pusat Dan Daerah
pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.



II. Organisasi Modern
 a. Mengapa sekolah sebagai organisasi perlu mengadopsi manajemen perusahaan?
Kata Manajemen berasal dari bahasa Inggris: management dengan kata kerja to manage, diartikan secara umum sebagai mengarusi. Selanjutnya pengertian manajemen berkambang lebih lengkap. Lauren A. Aply- seperti yang dikutip Tanthowi “ the art getting thing done though people”. Stuner dalam mengartikan menejemen sebagai proses proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan mengawasi usaha-usaha dari anggota organisai dari sumber-sumber organisasi lainnya unruk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.[10]
Pengertian manajemen menurut Wilson Bangun adalah suatu rangkaian aktivitas yang dikerjakan oleh para anggota organisasi agar tujuan dapat tercapai dengan rangkaian yang teratur dan tersusun baik.
George R. Terry, mengatakan bahwa manajemen merupakan proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan : perencanaan,  pengorganisasian, menggerkan dan pengawasan yang dialkukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia  serta sumber-sumber lain.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa manajemen adalah seni dalam mengatur sistem baik orang dan perangkat lain agar dapat berjalan dan bekerja sesuai dengan ketentuan dan tujuan entitas yang terdiri dari berbagai aktivitas sebagaimana disebutkan oleh George Terry.
KH. Toto tasmara dalam buku Spiritual Centered Leadership memberikan gambaran tentang perbedaan antara manajer dan leader. “Manajer bagaikan seorang yang mengendarai kendaraan. Dia harus terampil dan meyakinkan bahwa kendaraannya berada dalam kondisi yang baik untuk menempuh perjalanan. Sedangkan kepemimpinan berhubungan dengan kemampuan menentukan arah dan memastikan bahwa kendaraan berada dalam jalan yang sesuai dengan peta yang ditetapkan.Manajer bekerja sesuai dengan sistem, sedangkan kepemimpinan memperbaiki sistem serta membuat arah, tujuan, dan segala hal yang berkaitan dengan esensi dan substansi. Manajer berbicara tentang apa yang harus dikerjakan, kepemimpinan berbicara tentang mengapa dan apa akibatnya bila hal tersebut harus dikerjakan.”[11]
Para peneliti biasanya mendefenisikan “kepemimpinan” menurut pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi para pakar yang bersangkutan. Bahkan Stogdil membuat kesimpulan, bahwa: There are almost as many definitions of leadership as there are persons who have attempted to define the concept.[12]
Kepemimpinan diterjemahkan ke dalam istilah sifat-sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerja sama antarperan, kedudukan dari satu jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh.[13]
Sehingga menurut penulis berdasarkan teori diatas pentingnya manajemen sekolah untuk menerapkan manajemen seperti perusahaan karena target sekolah dan perusahaan dalam manajemen adalah sama, yaitu memberikan kepuasan pada pelanggannya. Juga didalam manajemennya terdapat  seni dalam mengatur sistem baik orang dan perangkat lain agar dapat berjalan dan bekerja sesuai dengan ketentuan dan tujuan entitas.

b. Pengertian MBS?
Nurkolis (2006: 11) mengemukakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah model pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri secara langsung.
Menurut Mulyasa (2002), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah masyarakat dan pemerintah.
Menurut Sudarwan Danim (2005) MBS dapat didefinisikan sebagai suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah, otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan sustainabilitas untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menurut penulis sebagai proses kerja sama komunitas sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan supaya lebih baik dan lebih memadai agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah.

-Permasalahan MBS dalam pelaksanaannya?
1. Resistensi terhadap perubahan;
Setidaknya ada dua jenis resistensi terhadap penerapan MBS yaitu resistensi pada sumberdaya manusia dan resistensi pada organisasi. Resistensi pada sumberdaya manusia disebabkan oleh ketidakmampuan, ketakutan terhadap perubahan, kurang bisa melihat keuntungan, kekurangpercayaan, dan merasa terganggu terhadap kemapanan yang telah lama melekat padanya. Sedang resistensi pada organisasi setidaknya meliputi struktur organisasi sekolah termasuk pembagian kerja yang belum pas dalam sekolah dan antara sekolah dengan dinas pendidikan dan komite sekolah. Selain itu, miskin komunikasi antara pihak-pihak terkait dengan MBS, ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai oleh sekolah dan upaya-upaya untuk mencapainya juga menjadi faktor yang menyebabkan resistensi.Pemecahan: Perlu dilakukan restrukturisasi organisasi sekolah agar roles, relationships, rules and regularities and accountabity sesuai dengan keyakinan, nilai, dan norma-norma baru yang terkandung dalam MBS. Selain itu, sekolah perlu menumbuhkan dan mengembangkan kultur baru yang dituntut oleh MBS melalui penyadaran (diskusi, pembiasaan, contoh, dsb.) bahwa kehidupan adalah perubahan sehingga kemapanan yang selama ini mereka miliki perlu dicairkan.

2. Minimnya wawasan tentang konsep sekolah sebagai system;
Permasalahan utama yang dihadapi oleh sekolah dalam melaksanakan MBS adalah miskinnya wawasan warga sekolah dan unsur-unsur terkait tentang konsep sekolah sebagai sistem. Terlihat cara berpikir mereka sering parsial (tidak utuh/holistic), meloncat-loncat (tidak runtut), dan kurang memahami bahwa upaya-upaya yang ditempuh dalam mengembangkan sekolah haruslah dilakukan secara kolektif dan bukannya isolatif. Pemecahan: Perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya berpikir sistem, cara-cara berpikir sistem, dan penerapannya untuk pengelolaan dan pengembangan sekolah sehingga tertanam cara-cara berpikir dan perbuatan yang bersifat holistik/sistemik. Sosialisasi dapat dilakukan melalui penataran dan pembimbingan.
3. Kesulitan dalam menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS)
Sampai saat ini, banyak sekolah yang RPS nya kurang memadai yaitu kurang sesuai dengan kriteria RPS yang baik. Padahal RPS sangat penting dilakukan untuk memberi arah dan bimbingan para penyelenggara sekolah dalam rangka menuju perubahan/tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan sekolah. Tanpa perencanaan sekolah yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan sekolah.RPS merupakan dynamic blue print sekolah yang memuat gambaran kegiatan sekolah di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Perlu digarisbahwahi bahwa dalam situasi yang turbulen seperti saat ini, RPS harus bersifat luwes/kenyal dan dinamis (planning dynamics), tidak kaku. Selain itu, RPS harus menerapkan prinsip-prinsip RPS yang baik yaitu: memperbaiki output sekolah, demand driven (prioritas kebutuhan sekolah), partisipasi, keterwakilan, data driven, realistis sesuai dengan hasil analisis SWOT, mendasarkan pada hasil review dan evaluasi, keterpaduan, holistic/tersistem, dan transparansi. Pemecahan:Perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam menyusun RPS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan RPS dan penataran-panataran penyusunan RPS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.
4. Miskin wawasan tentang konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)
Secara agregatif, masih banyak sekolah yang belum memahami esensi konsep MBS. Masih banyak juga sekolah yang belum melaksanakan MBS secara konsisten menurut aspek dan fungsi manajemen secara utuh. Aspek-aspek manajemen sekolah yang dimaksud meliputi kurikulum, tenaga/sumberdaya manusia, siswa, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Fungsi-fungsi manajemen sekolah yang dimaksud meliputi: pengambilan keputusan, pemformulasian tujuan dan kebijakan, perencanaan, pengorganisasian, pen-staf-an, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, pensupervisian, dan pengontrolan. Pemecahan:Seperti butir 3, perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam memahami dan melaksanakan MBS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan MBS dan penataran-panataran MBS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya juga sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.
5. Kesulitan menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik
Pengamatan selama ini menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik secara konsisten, yaitu partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum, cepat tanggap, demokrasi, tanggungjawab, efisiensi dan efektivitas, profesionalisme, berwawasan ke depan (futuristic), dan pengawasan serta kontrol yang efektif.
Pemecahan: Perlu diterbitkan panduan yang spesifik tentang prinsip-prinsip MBS yang baik dan dilakukan focus group discussion (FGD) lintas unsur-unsur dalam sekolah dan dengan lintas organisasi yaitu dengan Komite Sekolah, Dinas Pendidikan, dan Dewan Pendidikan. Penyusunan RPS yang dilakukan secara partisipatif, laporan program dan keuangan yang dilakukan secara transparan dan akuntabel adalah merupakan upaya untuk merealisasikan prinsip-prinsip MBS yangbaik.
6. Kesiapan Sekolah dalam melaksanakan KBK Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah dikenalkan di sejumlah sekolah. Namun setelah dicermati, tingkat kesiapan mereka belum memadai seperti yang dituntut oleh KBK. KBK adalah kurikulum yang disusun berdasarkan standar kompetensi. KBK, adalah salah satu komponen pendidikan berbasis kompetensi (PBK). PBK sebagai sistem tersusun dari rangkaian komponen-komponen yang saling terkait secara hirarkis sebagai berikut: (a) standar kompetensi, (b) kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi dan disebut kurikulum berbasis kompetensi/KBK, (c) penyelenggaraan proses belajar mengajar yang mengacu pada KBK, (d) evaluasi berdasarkan standar kompetensi, dan (e) sertifikasi untuk menyatakan penguasaan kompetensi pada tingkat tertentu.
Pemecahan:Perlu penyusunan panduan pelaksanaan KBK yang lebih akurat, perlu sosialisasi KBK lebih intensif melalui lokakarya bagi seluruh unsur yang terkait dengan implementasi KBK, dan perlu dukungan sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (dana, sarana prasarana) karena KBK menuntut pembelajaran yang lebih konkret bukan sekadar abstrak, realitas dan bukan artificial, actual dan bukan sekadar tekstual, nyata dan tidak sekadar maya, dan ini semua hanya bisa dilakukan melalui pendekatan pembelajaran learning by doing, mastery learning, and contextual learning, yang jelas memerlukan sarana dan prasarana.
7. Ketidak jelasan dalam manajemen tenaga kependidikan; Masalah manajemen tenaga kependidikan di sekolah sebenarnya sudah secara konseptual telah jelas karena P3D (personel, peralatan, pendanaan, dan dokumen) sudah diserahkan ke daerah. Yang belum jelas adalah implementasinya. Sampai saat ini, perencanaan, rekrutmen, penempatan, pemanfaatan, pengembangan, pemutasian, hubungan kerja, penilaian kinerja, pendataan, dan hal-hal lain yang terkait dengan manajemen tenaga kependidikan masih kurang jelas. Tidak hanya itu, rekrutmen kepala sekolah tidak lagi sepenuhnya menggunakan persyaratan-persyaratan sebagaimana dituntut oleh Kepmendikbud nomor 0296/U/1996 (diperbarui menjadi Kepmendiknas nomor 17/U/2003). Akibatnya, sulit memperoleh the right person, in the right place. Padahal, MBS menuntut kepala sekolah yang tangguh, yaitu kepala sekolah yang kuat manajemen dan kepemimpinannya. Pemecahan:Perlu dibahas secara intensif tentang manajemen tenaga kependidikan melalui pertemuan-pertemuan lintas organisasi yaitu Sekolah, Dinas Pendidikan dan Pemda Kabupaten/Kota/Propinsi, dan Depdiknas untuk mencari solusi kejelasan implementasi manajemen tenaga kependidikan.
8. Belum optimalnya partisipasi/dukungan stakeholders;
Salah satu inti MBS adalah partisipasi, baik dari warga dalam sekolah maupun warga masyarakat yang berpengaruh maupun yang dipengaruhi oleh sekolah (stakeholders). Wadah partisipasi stakeholders sudah ada yaitu Komite Sekolah, namun dukungan riil dari mereka, baik intelektual, moral, financial, dan material, masih beragam.
Pemecahan:Perlu dilakukan advokasi melalui pertemuan-pertemuan, perlu meningkatkan partisipasi stakeholders dalam berbagai kegiatan sekolah, perlu publikasi melalui media tertulis/elektronik, perlu komunikasi secara intensif melalui berbagai media, perlu digalakkan transparansi, dan perlu peningkatan relasisasi dengan stakeholders melalui berbagai events.
9. Ketidakpastian dalam pembiayaan sekolah;
Dua hal yang mengganjal dalam pembiayaan pendidikan di sekolah yaitu: (1) siapa yang membayar, berapa banyak, untuk apa dan (2) formula sistem pembiayaan per siswa dan per jadwal mata pelajaran. Sampai saat ini, butir (1) belum jelas sehingga akhir-akhir ini banyak protes dari masyarakat tentang mahalnya biaya pendidikan. Padahal, sebenarnya biaya tersebut belum cukup untuk membiayai sekolah secara wajar.
Pemecahan:Perlu segera dicari formula system pembiayaan per siswa dan per jadwal mata pelajaran malalui pengkajian/penelitian yang dilakukan secara intensif. Best practices tentang pembiayaan pendidikan dari negara-negara lain, khususnya menyangkut formula funded system, perlu dikaji secara eklektif inkorporatif.
10. Kekurang jelasan tata pemerintahan pendidikan;
Telah terbukti bahwa masih banyak tumpang tindih pembagian kerja (division of labor) antara unsur-unsur yang terkait dengan sekolah. Pembagian kerja antara Sekolah dan Komite Sekolah, pembagian kerja antara Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan, dan antara Dewan Pendidikan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masih memerlukan kejelasan. Jika demikian, tata pemerintahan dalam pendidikan (governance in education) akan kurang mendukung terhadap implementasi MBS.
Pemecahan:Perlu dibahas secara lintas organisasi mengenai fungsi, struktur organisasi, pembagian kerja (division of labor) dari masing-masing pihak yang terkait dengan tata pemerintahan pendidikan di sekolah melalui lokakarya dan pengkajian tentang praktek-praktek terbaik tata pemerintahan pendidikan di sekolah-sekolah lain.

III. KEPEMIMPINAN
Kepemipinan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Menurut Tead; Terry; Hoyt Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.[14]
Kepemimpinan adalah terjemahan dari bahasa Inggris leadership yang berasal dari kata leader yang berarti pemimpin. Kepemimpinan adalah suatu proses dimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk meraih suatu tujuan dan mengarahkan sejumlah sumber daya untuk mencapai visi dan misi tertentu (Sriartha & Sudiana, 2009). Kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan terhadap para anggota kelompok. Definisi ini mengandung tiga implikasi penting, yaitu (1) kepemimpinan itu melibatkan orang lain, baik itu bawahan maupun pengikut, (2) kepemimpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, (3) adanya kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk kekuasaan yang berbeda-beda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya dengan berbagai cara (dalam Nurkolis, 2002: 153).
Kepemimpinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam manajemen berbasis sekolah. Kepemimpinan berkaitan dengan masalah kepala sekolah dalam meningkatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan secara efektif dengan para guru dalam situasi yang kondusif. Prilaku kepala sekolah harus dapat mendorong kinerja para guru dengan menunjukkan rasa bersahabat, dekat dan penuh pertimbangan terhadap guru baik secara individu maupun sebagai kelompok (Mulyasa, 2003: 107). 
Kepala sekolah sebagai pimpinan di lingkungan sekolah tidak hanya wajib melaksanakan tugas administratif. Namun juga menyangkut tugas bagaimana mengatur seluruh program sekolah. Dia harus mampu memimpin dan mengarahkan aspek-aspek baik administratif maupun proses kependidikan di sekolahnya. Sehingga kepemimpinan di sekolah harus digerakkan sedemikian rupa sehingga pengaruh prilakunya sebagai orang yang memegang kunci dalam perbaikan administratif dan pengajaran harus mampu menggerakkan kegiatan-kegiatan dalam rangka inovasi di bidang pengajaran.
Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah dapat mewujudkan misi dan visi, tujuan dan sasaran sekolah melalui program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Maka dari itu kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah.
Pidarta (1988, dalam Mulyasa, 2002:126) mengemukakan tiga macam keterampilan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah untuk menyukseskan kepemimpinannya. Ketiga keterampilan tersebut adalah keterampilan konseptual, yaitu keterampilan untuk memahami dan mengoperasikan organisasi; keterampilan munusiawi yaitu keterampilan untuk bekerjasama, memotivasi dan memimpin; serta keterampilan teknik ialah keterampilan dalam menggunakan pengetahuan, metode, teknik, serta pelengkapan untuk menyelesaikan tugas tertentu.[15]
 Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk memiliki kemampuan, terutama keterampilan konsep, para kepala sekolah diharapkan melalui kegiatan-kegiaatan berikut: (1) senantiasa belajar dari pekerjaan sehari-hari terutama dari cara kerja para guru dan pegawai sekolah lainnya; (2) melakukan observasi kegiatan manajemen secara terencana; (3) membaca berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan; (4) memanfaatkan hasil penelitian orang lain; (5) berpikir untuk masa yang akan datang; dan (6) merumuskan ide-ide yang dapat diujicobakan.
Selain itu, kepala sekolah harus dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang efekfif sesuai dengan situasi dan kebutuhan serta motivasi para guru dan pekerja lain.
Sejarah pertumbuhan peradaban manusia banyak menunjukkan bukti bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dan keberlangsungan organisasi adalah kuat tidaknya kepemimpinan. Kegagalan dan keberhasilan organisasi banyak ditentukan oleh pemimpin karena pemimpin merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh organisasi menuju ke suatu tujuan yang akan dicapai. Hal ini sejalan dengan pandangan Siagian, 1994 (dalam Suditha, 2011) bahwa arah yang hendak ditempuh oleh organisasi menuju tujuan haruslah sedemikian rupa sehingga mengoptimalkan pemanfaatan dari segala sarana dan prasarana yang tersedia. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik yang disusun serta dijalankan dijalankan oleh organisasi bersangkutan.
Untuk mendapatkan kinerja yang baik dan hasil kerja yang meningkat di suatu organisasi, maka harus memenuhi persyaratan atau memiliki: (1) keahlian dan kemampuan dasar, yaitu sekelompok kemampuan, yang meliputi kemampuan komunikasi, kemampuan teknik, kemampuan konseptual dan lain sebagainya, (2) kualitas pribadi yang meliputi mental, fisik, emosi, watak sosial, sikap, komitmen, integritas, kesadaran, serta perilaku yang baik, (3) kemampuan administrasi meliputi kemampuan menganalisis persoalan, memberi pertimbangan, pendapat, keputusan, mengatur sumber daya, dan berbagai macam kegiatan, lapang dada, sabar, berpartisipasi aktif dalam berbagai aktivitas, dan motivasi yang tinggi.
Dalam rangka melaksanakan MBS, kepala sekolah sebagai pemimpin harus memiliki berbagai kemampuan, antara lain yang berkaitan dengan pembinaan disiplin pegawai, pemberian penghargaan, dan pembangkit motivasi.[16]
















DAFTAR PUSTAKA

Arcaro, Jerome S. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan Dan
Tata Langkah  Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Edward Sallies, “Total Quality Management In Education”, Yogjakarta: IRCiSoD
2006
Hedwig, Rinda. Sistem Penjaminan Mutu Di Perguruan Tinggi Monitoring Dan
Evaluasi Internal. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007
Nana Syaodih Sukmadinata, “Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah”
Bandung: PT Refika Aditama, 2006
Nur Nasution, “Manajemen Mutu Terpadu”,Jakarta: Ghalia Indonesia 2015
Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr. Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah
Menengah. Bandung: PT Refika Aditama,  2006
Sallies, Edward. Total Quality Management In Education. Jogjakarta: IRCiSoD,
2006.
Sudiyono,”Manajemen Pendidikan Tinggi”, Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Usman Husaini,”Manajemen Teori Praktik & Riset Pendidikan”,Yogjakarta:Bumi
Aksara, 2008
Widjaja Tunggal Amin,”Manajemen Mutu Terpadu”,Jakarta:Rineka Cipta, 1998
Arief  Nurakhman, “Definisi, Unsur, Prinsip, Manfaat Program”, diaksesdari




[1] Sobri sutikno, “Pengelolaan pendidikan Tintauan Umum Dan Konsep Islami”. (Bandung: prospect, 2010) hal. 144
                                
[3] Arief Nurakhman, “Definisi, Unsur, Prinsip, Manfaat Program”, diakses dari http://sisimili.blogspot.com/2013/01/definisi-unsur-prinsip-manfaat-program.html diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 11.30 Wib
[4] Nur Nasution, “Manajemen Mutu Terpadu”,(Jakarta: Ghalia Indonesia 2015) hal. 21
[5] Usman Husaini,”Manajemen Teori Praktik & Riset Pendidikan”,(Yogjakarta:Bumi Aksara, 2008) hal. 530
[6] Ade Irawan dkk, Mendagangkan Sekolah  Indonesia (Jakarta: Corruption Watch,  2004), 30
[7] Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, Dan Riset Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara,2006), Hal. 572
[8] ibid
[9] ibid
[10] M. Ismail Yusanto, Pengantar Manajemen Syariat, Khairul Bayan, Jakarta Selatan, cet. 2, hal.14
[11] KH. Toto Tasmara, Spiritual, hal. 171-172
[12] gary A. Yukl, Leadership In Organizations, 1981, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N. J. 07632 hlm. 2-5.
[13] Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 17.
[14] Dr. E. Mulyasa, M.Pd, menjadi kepala sekolah profesional,  PT. Remaja Rosdakarya, cet. VI, Bandung, hal. 107
[15] http://ridhofkip.blogspot.co.id/2013/04/kepemimpinan-dalam-manajemen-berbasis.html
[16] http://heny-christz.blogspot.co.id/2012/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Comments

Popular posts from this blog

Manajemen Pendidik Dayah

Model kepemimpinan guru