Al-Farabi dan Pemikirannya
A.
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang Masalah
Akal merupakan salah satu anugerah Allah SWT yang paling istimewa
bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap
segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia
bukan dibawa sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui
apa-apa.
Dengan demikian akal menjadi bagian yang sangat penting
dalam diri manusia, bahkan tanpa akal manusia tidak ubahnya seperti binatang.
Dalam filsafat, penggunaan akal menjadi ciri khas yang menunjukkan aktivitas
pemikiran yang dilakukan. Di dunia ini, banyak sekali filosof-filosof yang
menuangkan pemikirannya kedalam bentuk tulisan maupun ucapan dari hasil
pengalamannya maupun aktivitas berpikir mendalam yang dilakukannya.
Tidak hanya barat,
Islam pun memiliki para filosof handal yang memiliki kualitas berpikir yang
luar biasa. Namun, seorang muslim yang memperdalam filsafat tidak boleh
terlepas dari aturan syari`at yaitu ketentuan Al-Qur`an dan Al-Hadits. Hal ini
dimaksudkan agar apa yang nanti akan dituangkan dari hasil filsafatnya tersebut
tidak menyesatkan umat Islam lainnya, karena tentunya para filosof tersebut
mendapat perhatian yang lebih bahkan hasil pemikiran mereka dipelajari oleh
umat selanjutnya. Dari sekian banyaknya filosof-folosof islam ternama salah
satu yang termasyur dengan pemikirannya adalah Al-farabi.
Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual
al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat
sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang
filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai
peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu
terus dibangun dengan tekun.[1]
Ia
termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan
Aristoteles”. Bahkan sejumlah kalangan menyebutnya sebagai “the second Master”
atau Maha Guru Kedua setelah panutannya Aristoteles.[2]
Al-farabi
memberikan sumbangsih yang sangat berguna bagi ilmu filsafat yang berkembang di
eranya dan masih juga dijadikan sebagai konsep pemikiran filsafat pada saat ini.
Penyusun tertarik ingin mengumpulkan ilmu dan informasi tentang Pemikiran
Al-Farabi terhadap sumbangsihnya terhadap ilmu filsafat.
b.
Rumusan Masalah
Untuk membatasi permasalahan yang akan
diangkat, maka penyusun memfokuskan tulisannya pada:
a.
Bagaimana biografi Al-Farabi?
b.
Apa saja karyanya tentang filsafat?
c.
Bagaimana pemikiran Al-farabi terhadap
filsafat?
d.
Tujuan Kajian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
:
1.
Mengetahui
riwayat
hidup Al-Farabi
2.
Mengetahui
karya-karya
besar Al-Farabi
3.
Mengetahui gaya pemikiran
Al-Farabi terhadap filsafat.
e.
Manfaat Kajian
Manfaat
yang dapat diambil dari penelitian ini, adalah :
a.
Penelitian ini sedikit banyak memberikan ilmu pengetahuan tentang historis
beografi Al-Farabi, karyanya dan pemikiran Al-Farabi terhadap filsafat.
b.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pembaca dan menjadikannya
rujukan filsafat ilmu.
d.
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi mahasiswa pasca serjana pada mata
kuliah filsafat ilmu.
2. Manfaat secara
praktis sebagai berikut :
B.
Pembahasan
1. Biografi
Singkat Al-Farabi
Berbeda dengan kehidupan beberapa filosof besar
islam lain seperti Ibn Sina (370-429 H / 980-1037 M), latar belakang keluarga
atau kehidupan awal, pelatihan dan pendidikan al-Farabi sangat sedikit yang
diketahui dengan pasti. Bahkan berkenaan dengan kehidupannya setelah itu,
terdapat banyak episode yang hingga saat ini sulit divalidasi.
Meski al-Farabi mempunyai beberapa murid dekat,
dia tidak pernah mendiktekan otobiografinya kepada salah seorang dari mereka,
sebagaimana yang dilakukan Ibn Sina kepada murid kesayangannya, al Juzjani.
Juga tidak seperti Ibn Khaldun, al-Farabi tidak mau menulis otobiografinya
sendiri[3]. Sehingga bahan-bahan yang dipakai sebagai
rujukan oleh para biografer al-Farabi selama ini, keabsahan, kebenaran dan
keautentikan datanya masih bersifat sementara dan masih mungkin bagi para
penulis berikutnya untuk merevisi sehingga dapat ditemukan data yang akurat dan
lebih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.[4]
Salah satu implikasi atas kesimpang-siuran data
tersebut terlihat dari beberapa tulisan tentang tahun kelahiran al-Farabi. DR.
Ahmad Daudy, dalam Kuliah Filsafat Islam menyebut kelahiran al-Farabi adalah
tahun 259 H/872 M[5],
sedangkan Harun Nasution menunjuk angka 870 M[6]dan
Osman Bakar menulis tahun 257/890M[7]
Perbedaan lain seputar tokoh yang memiliki nama
lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi ini
adalah soal asal-usul kebangsaan/keturunannya. Ada yang menyebutnya
berkebangsaan Persia dan ada pula yang menyatakan keturunan bangsa Turki. Hal
ini disebabkan karena ayahnya (Muhammad ibn Tharkhan) adalah seorang Jenderal
berkebangsaan Persia dan ibunya adalah wanita keturunan Turki.[8]
Meskipun dalam sumber-sumber tertentu ayahnya
disebutkan keturunan bangsawan Persia, namun keluarga al-Farabi dianggap
sebagai orang Turki. Bukan hanya karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdia
atau sebuah dialek Turki, tetapi karena gaya hidup dan kebiasaan kultural
mereka mirip orang Turki.[9]
Sebutan al-Farabi sebenarnya diambil dari nama
kota Farab sebuah distrik (setingkat Kabupaten/kota) provinsi Transoxiana,
Turkestan, yakni distrik tempat kelahiran beliau, tepatnya di desa kecil
bernama Wasij. Menurut catatan Ibn Khallikan, di wilayah ini pula Abu Nasher menghabiskan
masa remajanya.[10]
Lingkungan
distrik Farab yang mayoritas penduduknya berfaham fiqh Syafi’iyah ditambah
kondisi ekonomi keluarga yang memadai, memungkin Abu Nashr muda menerima
pendidikan yang layak. Dia digambarkan sejak dini memiliki kecerdasan istimewa
dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subjek yang dipelajari,[11]
terutama dalam bidang bahasa. Konon ia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam
bahasa, dengan empat bahasa yang paling dikuasai yakni Arab, Persia, Turki dan
Kurdi.[12]
Selain
di kampung halamannya, al-Farabi pernah berdomisili di Bukhara untuk menempuh
studi lanjut fiqh dan ilmu religius lainnya. Kota Bukhara yang saat itu berada
dalam pemerintahan Nashr ibn Ahmad (260-279 H/874-892 M) dikenal sebagai masa
awal kebangkitan sastra dan budaya Persia dalam Islam. Di nilah al-Farabi
mempelajari musik untuk pertama kalinya.[13]
Dan di kota ini pula ia pernah menjadi hakim (qadhi)[14]
Hanya
beberapa saat menjadi hakim, al-farabi melepaskan pekerjaan itu ketika
mengetahui ada sesorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis. Segera
setelah itu dia mulai tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu logika
Aristotelian dan filsafat kepada Yuhanna ibn Hailan di kota Merv (Marw)
Khurasan.[15]Saat
berusia 40 tahun, al-Farabi hijrah ke Baghdad yang kala itu merupakan pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Di sana ia belajar kaidah-kaidah bahasa
Arab kepada Abu bakar al-Saraj juga belajar ilmu logika serta filsafat kepada
seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibn Yunus[16].
Menurut
Osman Bakar, Al-Farabi berangkat ke Baghad itu adalah sekitar tahun 287 H/ 900
M dari kota Merv bersama gurunya ibn Hailan. Jadi, selain berguru kepada yang
lain, selama di Baghdad al-Farabi tetap belajar pada Ibn Hailan. Bahkan pada
fase selanjutnya al-Farabi pun ikut pindah ke Harran mengikuti sang guru. Besar
kemungkinan Ibn Hailan lah yang mempengaruhi al-Farabi untuk melanjutkan
studinya ke Konstatinopel yang erat pertautannya dengan mazhab filsafat
Alexandria. Al-Farabi menetap di Konstatinopel selama delapan tahun hingga
menyelesaikan studi ilmu-ilmu dan seluruh silabus filosofis.[17]
Barulah
pada rentang waktu antara 297-307 H / 910-920 M al-Farabi kembali ke Baghad dan
tercatat sebagai siswa Matta ibn Yunus, salah seorang filosof Nestorian. Di
bawah bimbingan Matta inilah, al-farabi mampu menguraikan gagasan-gagasan
abstrak menjadi mudah difahami dan mengungkapnya dengan istilah yang sederhana.
Bahkan kemudian, ajaran dan tulisan-tulisan al-Farabi pada masa ini dengan
cepat memantapkan reputasinya sebagai filosoft muslim terkemuka, melebihi
gurunya—Matta ibn Yunus—dalam bidang logika.[18]
Pada
tahun 330 H / 941 M, Al-Farabi pindah ke Damsyik (Damaskus-Suria) dan
berkenalan dengan Said al-Daulah al-Hamdani, Sulthan dinasti Hamdan di Halab
(Aleppo). Sulthan tampaknya amat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan
beliau, hingga mengajaknya pindah ke Aleppo. Di Aleppo sulthan memberikan
kedudukan yang baik kepada al-Farabhi sebagai penasehat istana sampai ia wafat
di sana sekitar tahun 337 H/950 M dalam usia 80 tahun.[19]
2. Karya-Karya
Al-Farabi
Karya-karya
al-Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada
abad pertengahan. Para bibliografer tradisional menisbahkan lebih dari seratus
karya kepada al-Farabi. Namun karya-karya yang lebih banyak berbentuk naskah
tersebut sebagiannya hanya ditemukan dalam terjermahan tulisan Ibrani atau
Latin dan baru sedikit yang disunting dan diterbitkan. Sehingga sulit untuk
memberikan catatan komprehensif tentang berbagai segi dari karya dan pemikiran
al-Farabi.[20]
Di antara karya-karya Al-Farabi itu adalah :
1.
Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hakiman Afalatoni Al
Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan
Aristoteles),
2.
Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan),
3.
As Siyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),
4.
Fususu Al Taram (hakikat kebenaran),
5.
Arra’u Ahli Al Madinati Al Fadilah
(pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),
6.
As Syiasah (ilmu politik),
7.
Fi Ma’ani Al Aqli, (makna Berfikir)
8.
Ihsha’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu),
9.
Isbatu Al Mufaraqat,
10.
Al Ta’liqat[21]
Buku al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum”
merupakan teori keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu Bahasa,
Mantiq, matematika, fisika, politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah
pernah dibahas oleh para penulsi lain. Namun yang membuat buku itu istimewa
adalah karena al-farabi mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut dengan
teori-teroi keislaman yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu baru, yakni Fiqh
(hukum Islam) dan ilmu Kalam yang sangat populer dibicarakan pada masa itu.[22]
Terkait ketajaman karya al-Farabi, diceritakan
bahwa Ibnu Sina pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles.
Setelah membacanya empat kali (dalam riwayat lain disebutkan 40 kali) ia belum
juga mampu mencerna isinya sampai ia membaca buku “Intisari Metafisika” karya
al-Farabi, barulah ia mengerti apa yang selama ini dirasakan sukar.[23]
Selain dalam bentuk buku, risalah dan manuskrip
tersendiri, al-Farabi juga sering membuat ulasan dan penjelasan terhadap
karya-karya filosof Yunani, seperti al- Burhan (dalil), Ibarah (keterangan),
Khitabah (cara berpidato), Al-Jadal (argumentasi/debat), Qiyas (analogi) dan
Mantiq (logika) yang meupakan ulasan terhadap karya-karya Aristoteles. Juga
”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq” yang merupakan ulasan terhadap karya Platinus
dan ”Maqalah Fin-nafsi” sebagai ulasan terhadap karya Iskandar Al Fraudisiy.[24]
3. Pemikiran
Filsafat Al-Farabi
Bagi al-farabi, tujuan filsafat dan agama
adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai
dalil-dalil yang yakiniy dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama
memakai cara iqna’iy (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran untuk
semua orang. Pemahaman ini didasarkan pada pengertian al-farabi tentang
filsafat sebagai upaya untuk mengetahui semua yang wujud karena ia wujud
(al-ilm bil maujudat bima hiya maujudah).[25]
Dalam tatanan falsafah an-nadhariyah atau
filsafat teori (sebuah istilah yang digunakan al-Farabi untuk membedakannya
dengan filsafat terapan atau al-falsafah al-amaliyah), al-farabi termasuk orang
yang sangat hati-hati soal bocornya pembicaraan filsafat ke tangan orang awam.
Ia berharap agar para filosoft menuliskan pendapat-pendapat atau falsafah
mereka dalam gaya bahasa yang gelap, agar jangan dapat diketahui oleh sembarang
orang, dan dengan demikian iman serta keyakinan mereka tidak menjadi kacau.[26]
Falsafah al-Farabi merupakan suatu intelektual
dalam bentuk kongkrit dari apa yang disebut “Falsafah Pemaduan” (al-Falsafah
at-Taufiqiyah) sebagai ciri yang sangat menonjol dari falsafah Islam.
Pemikirannya merupakan pemaduan falsafah Aristoteles, Plato dan New-Platonisme
dengan pemikiran Islam yang bercorak aliran Syiah Imamiyah.
Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi
oleh Aristoteles, dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato,
dan dalam masalah metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus. Oleh karena itu
al-Farabi dipandang sebagi filosof Islam yang mula kali menciptakan falsafah
Taufiqqiyah karena ia percaya adanya “Kesatuan Falsafah”(wahdatu al-Falsafah).
Baginya, kebenaran itu hanya satu, sedangkan perbedaan pendapat hanyalah pada
lahirnya saja, tidak pada hakikat.
Sebenarnya usaha pemaduan ini sudah lama
dimulai sebelum al-Farabi, dan telah mendapatkan pengaruh yang luas dalam
lapangan falsafah, terutama sejak munculnya aliran neoplatonisme. Namun
demikian, usaha al-Farabi lebih luas lagi karena ia bukan saja mempertemukan
aneka aliran falsafah yang bermacam-macam, tetapi juga berkeyakinan bahwa
aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda corak-ragamnya.[27]
Untuk itu Guna memahami pemikiran Plato dan Aristoteles, Al-Farabi secara
khusus membaca karya kedua pemikir besar Yunani itu, yakni On the Soul sebanyak
200 kali dan Physics sampai 40 kali.
Al-Farabi pun akhirnya mampu mendemonstrasikan
dasar persinggungan antara Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti
penciptaan dunia, kekekalan ruh, serta siksaan dan pahala di akhirat kelak.
Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak dapat
dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia memahami
penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi) dari Tuhan sejak zaman
azali.
a. Filsafat
Metafisika dan Teori Emanasi
Secara bahasa Metafisika berasal dari bahasa
Yunani ta meta ta physika (sesudah fisika). Istilah ini merupakan judul yang
diberikan Andronikos dari Rhodes terhadap empat belas buku karya Aristoteles
yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku. Aristoteles
sendiri tidak menggunakan istilah metafisika, melainkan filsafat pertama
(Proote Philosophy). Dalam bahasa Arab, istilah metafisika dikenal dengan
ungkapan ma ba’d al-thabi’ah atau segala sesuatu dibalik realitas yang tampak.[28]
Saat ini kata metafisika memiliki beragam arti.
Bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai
suatu keseluruhan dan bisa pula bemakna upaya untuk menyelidiki alam yang
berada di luar pengalaman, atau menyelidiki apa yang berada di balik realitas.
Akan tetapi secara umum metafisika dapat dikatakan sebagai suatu pembahasan
filsafat yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala
sesuatu yang ada.[29]
Dalam kajian-kajian kuno, filsafat metafisika
lebih banyak bertumpu pada soal eksistensi (wujud) tuhan dan kuasa-Nya serta
soal penciptaan alam. Dalam konteks inilah pembicaraan tentang teorii emanasi
menjadi populer.
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.[30]
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.[30]
Konsep ini erat kaitannya dengan teori wujud
(ekksistensi) yang oleh al-Farabi dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1.
Wujud yang mungkin ada karena lainnya (mumkin
al-Wujub). Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada
matahari. Cahaya itu sendiri menurt tabi’atnya bisa wujud dan bisa pula tidak.
Karena matahari telah wujud, maka cahaya itu menjadi wujud disebabkan wujudnya
matahari. Wujud yang mungkin ini menjudi bukti adanya sebab yang pertama,
karena segala yang mungkin harus berakhir pada suatu wujud yang nyata dan
pertama kali ada.
2.
Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib
al-wujud). Wujud ini adalah wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki
wujudnya. Kalau ia tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia
adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah
Tuhan.[31]
Berdasarkan konsep ini, al-Farabi berpendirian,
bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau
mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab, sedangkan yang
wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki Zat yang Agung dan
sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalam keseluruhan sejak azali.[32]
Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Yasin
ayat 82.
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia
menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka
terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).
Al-Farabi
berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran
ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal)
dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga
mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak
bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari
pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu
tsani).
Lebih
lanjut, urutan-urutan emanasi al-‘Aqil itu dapat digambarkan sebagai berikut :
1.
Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir
tentang dirinya hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal),
2.
Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud
IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
3.
Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal
Keempat, yakni Planet Saturnus
4.
Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal
Kelima, yakni Planet Jupiter,
5.
Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal
Keenam, yakni Planet Mars,
6.
Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud
VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
7.
Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud
IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
8.
Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud
X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
9.
Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud
XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.
Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada
pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya
akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi
yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.[33]
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal
dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang
yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet
pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar
dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena
jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah
al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan
bintang-bintang tetap.
Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh,
sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan,
sedangkan akal kesepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan mengurusi
kehidupan dibumi.[34]
b. Filsafat
kenabian
Filsafat kenabian dalam pemikiran al-Farabi
erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit).
Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi
diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh
manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang
mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab
yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh
Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari
nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى * عَلَّمَهُ شَدِيدُ
الْقُوَى
”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat.”
Salah
satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai
jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk
berkomunikasi dengan akal Fa’al. Sebab lahirnya filsafat kenabian ini
disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis
oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat
karya-karya tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW.
Di
antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah: pertama, Nabi sebenarnya
tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan manusia akal tanpa
terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan
dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan
larangan-Nya.
Kedua,
ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya Thawaf di
Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya. Ketiga,
mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia.
Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau
sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang
Uhud tidak.
Keempat,
al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa. Orang yang
non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Qur’an, karena mereka tidak kenal
dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah Khalifah yang paling Fasahah
dikalangan orang Arab. Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi,
daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus,
Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, logika dan obat-obatan. Menurutnya pendapat
yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat bertentangan dengan
al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran Islam, al-Qur’an adalah
Wahyu Ilahi yang merupakan sumber inspirasi yang benar, dapat diterima akal,
dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang
mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan
perbuatan ini dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan.
Dalam al-Qur’an ada dijelaskan:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya:
”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.”
(Q.S. al-Baqarah: 2-3)
Nabi
adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu
ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang
kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima visi dan
kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari
Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan
al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan
Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya
sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.[35]
Pendapat
al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh
karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan
tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an)
ia akan tersesat, karena antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang
sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang
menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah
kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama
berasal dari akal Mustafad.
Kalau
dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk
berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga
maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu
bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah cerita dan kebohongan
yang di buat oleh Nabi.
Wahyu
berisikan firman-firman Allah, datangnya langsung dari Allah, melalui perantara
Jibril, dan melalui tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak
dimiliki oleh manusia lainnya. Ada sebagian manusia yang mempunyai imajinasi
kuat, tetapi bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al,
tetapi terkadang mereka mengalaminya ketika tidur, mereka ini di sebut para
Auliya. Ada lagi lebih ke bawah yakni, manusia yang awam, maka imajinasinya sangat
lemah sekali sehingga tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu
tidur ataupun terbangun.
Penjelasan
di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari
hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan.
Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin
sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan
dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang
diperlukan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah,
jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya,
sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.[36]
c.
Filsafat
Politik
Al-Farabi,
selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga menyibukkan
dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut
berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim
lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha
menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai
politik semata.
Dalam
persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada
filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk
bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun
tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan
memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi
juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.[37]
Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di
masyarakat.
Al-Farabi
mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:
1.
Masyarakat Sempurna (al-Mujtama’ al-Kamilah). Masyarakat
sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara
unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai
kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya
itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.[38]
2.
Selanjutnya, masyarakat yang sempurna,
diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat sempurna besar
(gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta
bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat
sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di
satu wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat
sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota (negara
kota).[39]
3.
Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’
laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang
kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat
desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan
masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama
adalah, kategori yang pertama, yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtama’
al-Hikmah), yang mana jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap,
diibaratkan seperti satu anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu
organ tubuh sakit, maka tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula
anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda
kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib
dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai
dengan keadaan spesialisasi mereka.
Fungsi utama dalam filsafat politik atau
pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan
fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber
seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan
serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal
kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.[40]
Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan
kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang
kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan
masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang
mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari
Kepala Negara, membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya,
kemudian di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang
bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai
golongan terendah.[41]
Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah
memangku jabatan resmi dalam satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran
filsafat yang ia kemukakan ini bersifat khayalan semata. Perlu dipahami bahwa
seorang filosof belum akan merasa puas dalam membicarakan sesuatu sebelum
sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka sama halnya dengan
filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat atau teori
untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar manusia hidup dalam satu
pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga akhirat. Atas dasar ini
pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat pemerintahan al-Farabi
adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.
Al-Farabi juga berpandangan, yang paling ideal
sebagai Kepala Negara adalah Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya
mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat
yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah
pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat
dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat
dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri
beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara
bersama harus bersatu memimpin masyarakat.[42]
Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan
bagaikan orang yang sehat karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di
antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah
ibarat orang yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang
teratur di Negara itu.
Negara yang buruk tersebut banyak macamnya,
misalnya Negara yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam
hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi
menjadi lima macam:
1.
Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera
yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum,
pakaian, dan tempat tinggal.
2.
Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu
Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda.
3.
Negeri Gila Hormat (kurama), yaitu
Negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja.
4.
Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah),
yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya.
5.
Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara
yang setiap penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing.[43]
d. Filsafat
Pendidikan
Dalam sebuah risalah dibidang politik setelah
menjelaskan tentang murid dan kewajiban memerhatikan potensi-potensi yang
dimiliki anak-anak dalam proses pendidikan dan pengajaran, menyebutkan:
1.
Diantara mereka ada yang memilki tabiat jelek,
dimana anak-anak belajar mempunyai tujuan untuk digunakan pada hal-hal yang
tidak baik. Apabila melihat orang seperti itu hendakanya klita membimbing dan
mendidiknya dengan pendidikan budi pekerti, dan jangan mengajarkan suatu ilmu
kepada seseorang yang apabila memiliki sesuatu digunakan pada hal-hal yang
tidak baik.
2.
Diantara mereka ada yang bodoh yang
kecerdasannya dan kepandaiannnya tidak bisa diharapkan lagi. Apabila menjumpai
orang seperti ini, proses bimbingan dan pendidikan dilakukan dengan
mengggunakan pendekatan kebiasaan-kebiasaan yang baik
3.
Dan diantara mereka ada juga yang memiliki budi
pekerti dan karakter yang baik. Apabila mendapati mereka, jangan kita membina
terhadap ilmu yang dimiliki walaupun sedikit meskipun hanya basa-basi.
Al-Farabi berpesan, dalam usaha memperdulikan
dan mendidik orang jahat hendaklah dilakukan dengan cara pendidikan
ketauladanan, sedangkan pada orang bodoh hendaknya diajarkan hal-hal yang
praktis secara disiplin dan terus-menerus. Sementara pada mereka yang mempunyai
akhlak yang baik hendaknya diajarakan tentang berbagai ilmu pengetahuan sesuai
dengan tingkatnya.
Dalam
sebuah risalahnya beliau menyebutkan bahwa yang pertama dilakukan dalam
pendidikan dan pengajaran adalah dimulai dengan memperbaiki akhlak. Hal ini
dikarenakan orang yang tidak memiliki kepribadian yang baik tidak mungkin
belajar ilmu baik. Alasan yang dikemukan al-Farabi ini berdasarkan pendapat
filsuf Plato “ Sesungguhnya orang yang tidak bersih dan suci tidak dekat dengan
orang yang bersih dan suci “.
Menurut
al-Farabi, memperbaiki akhlak tidak cukup hanya dengan menggunakan perkataan.
Akan tetapi, hal yang lebih penting adalah dengan contoh dan perbuatan. Setelah
memperbaiki jiwa syahwatnya, baru perbaikan perkataannya, atau dengan kata lain
hal pertama yang harus dilakukan dalam proses pendidikan dan pengajaran adalah
memperbaiki akhlak praktis, baru kemudian memperbaiki akhlak atau
wawasan-wawasannya. Pendapat al-Farabi ini sangat bernilai tinggi dan cocok
dengan pendapat-pendapat para ahli filfasat etika dan pakar pendidikan pada
abad ke-20 ini.[44]
C.
Penutup
Filsafat
ilmu adalah disiplin ilmu yang unik, kajianya bisa mewakili berbagai disiplin
ilmu yang lain. Terdapat tokoh-tokoh filosof yang memberi kontribusi positif
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Begitu juga dengan Al-farabi.
Al-Farabi, dengan nama aslinya Abu Nashr
Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi ini ada yang
menyebutnya dirinya berkebangsaan Persia
dan ada pula yang menyatakan keturunan bangsa Turki. Hal ini disebabkan karena
ayahnya (Muhammad ibn Tharkhan) adalah seorang Jenderal berkebangsaan Persia
dan ibunya adalah wanita keturunan Turki.
Banyak karya-karya filsafatnya yang tertulis di
naskah-naskah terpisah. Namun buku al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum”
merupakan buku yang menjadi teori keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi
ilmu Bahasa, Mantiq, matematika, fisika, politik, hukum dan ketuhanan
yang sebenarnya telah pernah dibahas oleh para penulsi lain. Yang membuat buku
itu istimewa adalah karena al-farabi mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut
dengan teori-teroi keislaman yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu baru, yakni
Fiqh (hukum Islam) dan ilmu Kalam yang sangat populer dibicarakan pada masa
itu.
Dalam tatanan falsafah an-nadhariyah
atau filsafat teori (sebuah istilah yang digunakan al-Farabi untuk
membedakannya dengan filsafat terapan atau al-falsafah al-amaliyah),
al-farabi termasuk orang yang sangat hati-hati soal bocornya pembicaraan
filsafat ke tangan orang awam. Ia berharap agar para filosoft menuliskan
pendapat-pendapat atau falsafah mereka dalam gaya bahasa yang gelap, agar
jangan dapat diketahui oleh sembarang orang, dan dengan demikian iman serta
keyakinan mereka tidak menjadi kacau. Wallahu A’lam..
[2] Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam : Filosoftdan
Filsafatnya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), h.67
[3] Bakar Osman, Hierarki Ilmu Membangun Rangka
Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, Al-Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi,
(Bandung : Penerbit Mizan 1998), h.25-26
[10] Menurut
ibnu Abi Usaibi’ah berdasarkan lopran Abul Hasan al-Amidi, al-Farabi melewatkan
masa remajanya di Damaskus. Namun Hasil penelitian Bakar Osman lebih meyakini
Distrik Farab sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya al-Farabi. Ibid
[19] Sudarsono,
Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), h. 31. Sirajuddin Zar menulis
angka tahun masehi 330 H ini dengan 945 M, Zar, Sirajuddin, Lot-Cit
[25] Sebuah
Pengantar oleh Prof. H.Mukhtar Yahya dalam Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat
islam (Jakarta : Bulan-Bintang, 1991)
[44] Asyrofi,
Syamsudin, Beberapa Pemikiran Pendidikan, (Jakarta : Aditya Media Publishindo,
2005), h.50-52
Comments
Post a Comment